masa depan demokrasi selama lima tahun ke depan, ada alasan kesamaan multidimensional yang perlu mendasari inisiatif sosial ini. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia, kita disatukan oleh kesamaan-kesamaan dalam beberapa dimensi sebagaimana ditekankan oleh Notonegoro (Kaelan, 2009:187).
Pertama, dimensi kesatuan sejarah. Kedua, dimensi kesamaan nasib historis melalui kolonialisme, proklamasi, reformasi hingga mencapai wajahnya yang kontemporer. Ketiga, kesatuan budaya nasional bangsa yang terdiri atas keanekaragaman ungkapan budaya. Keempat, kesatuan wilayah geografis. Kelima, kesatuan cita-cita dan tujuan sebagaimana tertuang dalam Pancasila.
Kesamaan-kesamaan multidimensional tersebut menguatkan identitas kita sebagai satu bangsa. Dalam kesamaan identitas itu, perlu tanggungjawab sosial dari setiap elemen agar persatuan dan kemajuan bersama tetap terjaga. Secara teknis dan strategis, tanggungjawab itu diwujudkan dan salah satunya adalah melalui partisipasi dalam proses pemilu.
UUD 1945 tahun ke-II, No. 7 mencetuskan aspek “Negara Kesatuan” sebagai grand model negara Indonesia. Butir undang-undang ini secara implisit menegaskan kesetaraan dan kesederajatan lapisan-lapisan masyarakat. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu perlu memperhatikan pemerataan hak pemilih. Berbagai golongan dan kelas sosial memiliki hak yang sama untuk memilih. Jangan sampai, kelas sosial tertentu jauh lebih diuntungkan dalam perhelatan pemilu daripada kelas sosial lain. Fenomena seperti ini sering terjadi di kalangan kelompok-kelompok marginal yang minim akses.
Pemilu sebagai tanggungjawab sosial tidak diizinkan memprioritaskan kelas-kelas tertentu. Sebagaimana yang telah digariskan dalam UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan dan bukan negara berdasarkan kelas tertentu (klass staat). Pemberian privilese kepada salah satu kelas adalah bukti nyata dari pengkhianatan UUD 1945 itu sendiri.
Proyeksi Demokrasi pada Pemilu 2024
Tak lama lagi, negara kita akan menyelenggarakan pemilu tahun 2024. Di tengah memanasnya eskalasi perseteruan politik dan isu-isu populisme, proses pemilu yang demokratis masih diharapkan untuk tetap diperjuangkan dua tahun mendatang. Di samping para pejabat publik mulai mempersiapkan paket-paket gagasan dan kebijakan kampanyenya, pemerintah juga perlu terus mencegah terciptanya atmosfer represif. Media propagandis yang cenderung menghalangi para pemilih untuk memilih dengan bebas dan bijak juga perlu diminimalisir.
Di tahun 2024, sebagian proporsi pemilih adalah kaum muda. Berhadapan dengan generasi milenial, penyelenggaraan pemilu sebaiknya menekankan aspek edukasi dan bukan propaganda semata. Mereka perlu dididik dan disiapkan untuk tidak termakan hoax yang kian hari kian bebas disajikan di media massa. Mereka juga perlu dibekali critical thinking untuk mempertimbangkan kualitas, track record dan keunggulan visi yang dimiliki oleh bakal calon pemimpin.
Mempersiapkan generasi muda dengan kualitas-kualitas yang demikian berarti mendukung penyelenggaraan demokrasi yang berkualitas di masa-masa mendatang. Kelak generasi inilah yang juga akan memegang tampuk pemerintahan negara.
Agar penyelenggaraan pemilu tahun 2024 kelak berjalan dengan efektif dan sukses, kita perlu belajar catatan sejarah pemilu tahun-tahun yang usai. Pernah terjadi beberapa tahun silam, proses pemilu diisi dengan isu-isu sensasional yang tidak substansial. Media banyak memberitakan tuduhan dan tudingan antar kandidat pemimpin. Serangan identitas pribadi mulai dari tuduhan antek PKI, tudingan karena berasal dari latar belakang agama tertentu, hingga narasi tentang penduduk bukan asli Indonesia membanjiri konsumsi pembaca media. Para pemilih terbawa dengan gosip dan melupakan diskursus yang lebih substansial, yakni terkait keunggulan dan kelemahan dari gagasan serta visi-misi yang dibawa oleh setiap pasangan calon. Bukannya menampilkan debat yang edukatif, yang ditampilkan malah perang mulut antar elit untuk menumbangkan pribadi satu sama lain.
Peran media dalam pemilu tahun 2024 kelak menjadi sebuah episentrum vital. Kini, masyarakat sudah sedemikian terintegrasi dengan teknologi informasi dan komunikasi. Semua informasi bisa didapatkan melalui layar smartphone. Di satu sisi, kita melihat kemungkinan adanya peningkatan jumlah pemilih yang kritis dengan asumsi bahwa mereka mendapatkan lebih banyak pengetahuan segar tentang performa politik para calon melalui internet.
Di sisi lain, dan yang tak kalah pentingnya, justru ada kemungkinan bahwa semakin banyak orang yang akan mudah digiring oleh media massa. Demi kepentingan komersial, media tentu bisa saja, dan ini bukan hal baru, membangun kompromi dengan pejabat publik. Kepentingan politik si pejabat difasilitasi oleh pemilik media sedangkan kualitas dan kebenaran pemberitaan diingkari.
Perkawinan kepentingan antara pihak media dan tokoh politik bukan lagi sebuah gagasan baru. Hubungan ini sudah lama terjalin sejak media-media massa berbasis internet mulai merambah semesta digital. Metode kampanye konvensional kini sudah berakulturasi erat dengan sarana-sarana teknologi informasi dan komunikasi. Tidak hanya kualitas kampanye digitalnya semakin mutakhir, melainkan pula intensitasnya semakin tinggi, beriringan dengan banjir informasi lain.
Masyarakat Indonesia lama dulu dikenal memiliki keutamaan local genius. Mereka bisa dengan amat bijak memilah dan memilih unsur-unsur eksternal yang selain tidak melenyapkan identitas kultural setempat tapi juga mendukung kemajuan masyarakat. Keutamaan ini diharapkan tetap dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia modern. Kemampuan untuk kritis memilah dan memilih dari banjir semesta informasi adalah modal yang paling utama untuk mewujudkan pemilu 2024 yang demokratis dan kritis.
Menjelang pesta demokrasi 2024, mari kita mengawal seluruh proses pemilu dengan menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggungjawab atas pilihan pribadi. Semoga demokrasi bertumbuh dengan sehat.
Kepala Suku
Komentar
Posting Komentar