Langsung ke konten utama

karena sikap politik, Indonesia harus rela mengubur peluang itu.

 


Tahun 1950-an, Tim Nasional (Timnas) Indonesia sangat berpeluang berkiprah di ajang Piala Dunia. Saat itu, pasukan Garuda cukup tangguh. Namun, karena sikap politik, Indonesia harus rela mengubur peluang itu.


Pada Olimpiade Melbourne 1956, timnas Indonesia tampil cukup perkasa hingga melaju ke perempat final. Di perempat final, Indonesia berhadapan dengan Uni Soviet. Pada leg pertama, skor berakhir imbang 0-0. Namun, pada leg ke-2, Indonesia tumbang dengan skor 0-4. Uni Soviet sendiri tampil sebagai juara di masa itu.


Hingga datanglah kualifikasi Piala Dunia yang sedianya akan digelar di Swedia pada 1958. Saat itu, negara-negara Asia (AFC) dan Afrika (CAF) masih digabung. Indonesia berada di grup 1 bersama dengan Tiongkok dan Taiwan. Di fase grup itu, Indonesia berhasil melibas Tiongkok dan menjadi juara grup.


Saat itu Israel juga bermain di zona Asia-Afrika. Israel berada di grup 2 bersama dengan Turki. Namun, Turki menolak untuk bermain dengan Israel. Sehingga secara otomatis Israel lolos fase grup.


Pada fase ke-2 kualifikasi Piala Dunia 1958, Indonesia satu grup bersama dengan Israel, Mesir, dan Sudan. Saat itu, karena dukungannya pada Palestina dan negara-negara Arab, Indonesia menolak bermain dengan Israel. Tindakan itu diikuti oleh Mesir dan Sudan.


Saat itu, Indonesia di bawah pemerintahan Sukarno sedang aktif-aktifnya menggalang politik anti-imperialisme dan kolonialisme. Israel, yang disokong penuh oleh Inggris dan AS, dianggap sebagai representasi imperialisme. 


Ditambah lagi, selain mengokupasi paksa tanah Palestina, Israel baru saja berperang dengan Mesir. Sementara Mesir di bawah Gamal Abdul Nasser adalah sekutu dekat Indonesia. Mesir merupakan negara Arab pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Mesir juga menjadi rekan kerja Indonesia dalam menggalang Konferensi Asia-Afrika.


Sukarno melarang Timnas Indonesia meladeni Israel. “Itu sama saja mengakui Israel,” kata Maulwi Saelan, penjaga gawang sekaligus kapten Timnas kala itu, menirukan omongan Sukarno.


Israel pun melaju ke fase selanjutnya tanpa bermain bola sekali pun. Namun, agar bisa tampil di Piala Dunia Swedia, FIFA mengharuskan Israel bertanding melawan runner-up terbaik zona Eropa. Akhirnya, disepakati Israel melawan Belgia. Namun, Belgia pun menolak bermain dengan Israel. 


Akhirnya, FIFA mencari runner-up zona Eropa lain untuk dipertandingkan dengan Israel. Akhirnya ditunjuklah Wales. Dalam pertandingan dua leg, Israel ditaklukkan oleh Wales. Kandaslah harapan negara Asia Barat itu untuk tampil di Piala Dunia 1956.


Indonesia sendiri didiskualifikasi dari kualifikasi Piala Dunia 1958 karena menolak bermain dengan Israel. Tak hanya itu, Indonesia juga disanksi sebesar 5000 franc.


Keriuhan politik kembali terjadi pada ajang Asian Games 1962. Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah oleh Dewan Federasi Pesta Olahraga Asia/Asian Games Federation. 


Sebelumnya, pada pertemuan Negara-Negara non-blok di Beograd, Yugoslavia, pada 1961, Sukarno mencetuskan pemetaan baru geopolitik dunia antara Old Established Forces atau OLDEFO versus Newly Emerging Forces atau NEFO. OLDEFO mewakili negara-negara imperialis dan bekas kolonialis, sementara OLDEFO merupakan barisan negara-negara bekas jajahan Asia-Afrika dan negara-negara sosialis.


Garis politik itu juga yang diterjemahkan dalam ajang olahraga, termasuk Asian Games. Dua negara calon peserta, yaitu Israel dan Taiwan, dianggap representasi dari OLDEFO atau kubu negara-negara imperialis. Israel juga dipersalahkan dalam kasus agresi ke Palestina dan perang dengan negara-negara Arab. Sementara Taiwan merupakan musuh Tiongkok.


Sebagai bentuk solidaritas terhadap negara-negara NEFO, terutama Palestina, negara-negara Arab, dan Tiongkok, Indonesia pun berniat tak berniat mengundang Israel dan Taiwan. Puncaknya, pada saat Asian Games 1962 mau dimulai, Indonesia menolak mengeluarkan visa untuk kontingen Israel dan Taiwan. Akibatnya, kedua negara itu gagal berpartisipasi di Asian Games ke-4.


Rupanya, sikap Indonesia menghalangi Israel dan Taiwan berbuntut panjang. Asian Games Federation (AGF) mengajukan protes ke International Olympic Organization (IOC). Akibatnya, Indonesia diskors dari keanggotaan International Olympic Committee (IOC). Tak hanya itu, Indonesia juga dilarang ikut Olimpiade 1964.


Namun, Indonesia tidak keder. Dicekal dan dilarang-larang, Indonesia makin mengaung.


Pada sebuah konferensi besar Front Nasional di Jakarta, 13 Februari 1963, Sukarno memerintahkan agar Indonesia keluar dari IOC. Tak hanya itu, sang Bung besar juga memerintahkan agar Kementerian Olahraga RI, yang saat itu dijabat oleh Muladi, mulai menggagas pesta olahraga negara-negara NEFO.


Singkat cerita, Indonesia pun menyiapkan penyelenggaraan pesta olahraga negara-negara NEFO atau Games of the New Emergencing Forces, disingkat Ganefo. 


Ganefo I resmi digelar di Jakarta pada 10-22 November 1963. Lebih dari 2700-an atlet dari 51 negara ikut berlomba. Termasuk atlet-atlet dari daratan Eropa, seperti Belgia, Belanda, Bulgaria, Polandia, Hungaria, Finlandia, Jerman timur, Perancis, dan Yugoslavia.


Atlet-atlet dari negara Amerika latin juga ikut serta, seperti Venezuela, Uruguay, Meksiko, Brazil, Chile, Republik Dominika, dan Bolivia.


Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tampil sebagai peraih medali terbanyak. Disusul oleh Uni Soviet dan Indonesia. Indonesia sendiri berhasil merebut 21 medali emas, 25 perak, dan 35 perunggu.


Ganefo sukses besar. Indonesia tak hanya berhasil menyelenggarakan sebuah event olahraga berskala besar, tetapi juga sanggup menunjukkan pada negara-negara barat bahwa Indonesia dan negara-negara NEFO sanggup membuat olimpiade sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan II Masa Prapaskah

  Sebagai orang beriman, kita sering kali menemukan persoalan dan tantangan hidup. Ada rajutan penderitaan dan kebahagiaan yang menjadi warna dalam kehidupan kita. Ada catatan tentang mereka yang membenci dan menjadi support system kita. Pada Minggu Prapaskah II ini, kita diajak belajar dari tokoh Abraham, yang mengajarkan kepada kita bahwa kegagalan dan penderitaan sebagai bagian dari olah kesetiaan iman kita. Hal senada juga disampaikan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada Timotius agar kita tetap tabah dalam mewartakan Kabar Gembira dari Tuhan. Penderitaan yang kita alami dalam pemberitaan Kabar Sukacita hendaknya tidak membuat kita kecewa dan putus asa atau bahkan mundur dari tanggung jawab kita sebagai orang beriman. Serahkanlah dalam kasih karunia Allah. Dia tidak akan pernah membiarkan kita dikuasai oleh kegelapan. Kekuatan inilah yang harus kita kedepankan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Peristiwa transfigurasi dalam kisah Injil hari ini mestinya membuka pikir...

Berjuang Dalam Meraih Cita - Cita

  Satu persatu manusia pasti menginginkan sukses di dalam hidupnya. Entah sukses di dalam karier, sukses dalam pendidikan, pekerjaan, jodoh dan suskes dunia akhirat. Lalu? Apa arti sebuah kesuksesan? Saya mengutip arti sukses menurut salah satu para ahli dan tokoh dunia yaitu sukses adalah keinginan untuk menjalani hidup & sesuai dengan keinginan anda, melakukan apa yang ingin anda nikmati, di keliling keluarga,teman dan orang yang ada hormati.  Jadi sukses tidak hanya untuk diri sendiri akan tetapi akan lebih bermanfaat untuk orang lain, keinginan apa yang  ingin dicapai cita-cita tinggi yang akan mengantar kita kedepan pintu gerbang kesuksesan. Seperti pepatah “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Pepatah tersebut menggambarkan kesuksesan itu tidak instan akan tetapi melalui lika liku perjalananyang  panjang. Sukses bagi saya yang paling  penting adalah bisa meraih apa yang kita inginkan dengan usaha kita sendiri, perjuangan serta kekuatan do...

Menyambut Pesta Demokrasi 2024

  masa depan demokrasi selama lima tahun ke depan, ada alasan kesamaan multidimensional yang perlu mendasari inisiatif sosial ini. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia, kita disatukan oleh kesamaan-kesamaan dalam beberapa dimensi sebagaimana ditekankan oleh Notonegoro (Kaelan, 2009:187). Pertama, dimensi kesatuan sejarah. Kedua, dimensi kesamaan nasib historis melalui kolonialisme, proklamasi, reformasi hingga mencapai wajahnya yang kontemporer. Ketiga, kesatuan budaya nasional bangsa yang terdiri atas keanekaragaman ungkapan budaya. Keempat, kesatuan wilayah geografis. Kelima, kesatuan cita-cita dan tujuan sebagaimana tertuang dalam Pancasila. Kesamaan-kesamaan multidimensional tersebut menguatkan identitas kita sebagai satu bangsa. Dalam kesamaan identitas itu, perlu tanggungjawab sosial dari setiap elemen agar persatuan dan kemajuan bersama tetap terjaga. Secara teknis dan strategis, tanggungjawab itu diwujudkan dan salah satunya adalah melalui partisipasi dalam proses pemilu. UUD 1...