Kopi sudah menjadi bagian dari keseharian. Menikmati secangkir kopi di pagi hari dan sore hari, bagiku sudah menjadi ritus yang wajib kulakukan. Ibarat beribadah, jika aku melewatkanya seperti ada yang kurang dan rasa gelisah turut menyertainya. Kenikmatan mulai dari memasak air, mengaduk sampai kuhidangkan untuk diriku sendiri, menjadi semacam cara melakukan ritus tersebut.
Sore itu tepatnya pukul lima, setelah aku pulang kerja. Pekerjaanku sebagai ojek, seperti hari sebelumnya aku nikmati kopi di teras depan rumahku. Matahari sore yang redup, mendung dan rintihan hujan membasahi debu tanah, seolah menambah kenikmatan kopi sore itu.
Aroma kopi yang kuhirup sebelum menyeruputnya, menambah semangatku ditengah kegundahan hati menjalani hidupku yang belum tentu arahnya ini. Berbicara soal kegundahan hati, yang kumaksud disini bukan soal memikirkan pacar atau pasangan. Bukan!!!!
Kegundahan hatiku ini selalu timbul ketika aku memikirkan pencapaian yang sudah aku dapatkan dalam usiaku yang sudah menginjak 25 tahun. Belum ada yang bisa kubanggakan pada ibuku sampai umurku yang sudah menginjak seperlima abad ini.
Kegiatanku sehari-hari hanya jadi ojek setia di kota flores timur, karena sampai saat ini surat lamaran yang aku kirim di berbagai perusahaan belum mendapat tanggapan, setelah semua pekerjaan rumah selesai kunikmati secangkir kopi. Secangkir kopi kuanggap sebagai upahku setelah pulang ojek.
Terkadang aku merasa iri dengan teman-temanku yang sudah mendapatkan pencapaian yang diinginkan di usia yang sama sepertiku. Iri dalam hal seperti ini tidak masalah kan, toh untuk memotivasi diri sendiri.
Pikiran-pikiran semacam itu yang sering berselisihan ketika aku menikmati secangkir kopi. Dan itu terkadang cukup mengganggu kenikmatanku untuk menyeruput kopiku. “singkirkan sejenak pikiran semacam itu” kukatakan dalam diriku sendiri. Berbicara tanpa ada lawan bicara memang terasa asyik ketika aku sendiri sembari menikmati kopi. “sudah nikmati kopi itu keburu dingin” ucap pikiranku sendiri kepadaku.
“Oke-oke Bro” kujawab. Pikiran serasa menjadi terpisah dari diri sendiri ketika momen-momen perenungan semacam ini. Platonis sekali terkadang, aku ini. Kuseduhi kopiku. Rasa pahit, sedikit asam dan manis bercampur menjadi satu di lidahku. Rasa ini yang selalu aku ingin dapat ketika aku seduh sendiri kopiku. Tiga sendok teh dan dua sendok gula untuk satu cangkir kecil, jika ingin mendapatkan rasa itu.
Beragam rasa itu seolah menjadi wujud dari beragamnya problematik kehidupan manusia. Dari beragam rasa itu pula aku belajar bahwa hidup itu kurang asyik jika tidak ada problem. Hidup hanya dipenuhi kesenangan tanpa ada kesedihan akan terasa monoton, begitu pula sebaliknya.
Bukankah Tuhan menciptakan manusia beserta beragam persoalan yang akan dihadapinya kelak. Mulai dari kecil manusia sudah di beri gejolak-gejolak itu. Mulai dari pendidikan di lingkup keluarga yang didapat sampai pasangan yang akan menemaninya kelak.
Setiap gejolak itu berbeda bagi setiap orang, oleh sebab itu manusia dikatakan sebagai makhluk yang unik dan sekaligus otentik. Manusia bukan sederetan angka yang sering digambarkan oleh para ekonomi konservatif. Manusia unik karena problem yang dihadapinya berbeda, begitu juga cara menyikapinya.
Satu-dua seruputan sudah masuk melalui tenggorokan. Rasa yang ditingggalkanya cukup khas. Hangat dan sedikit rasa pahit. Rokok mulai kusulut dan kuhisap dalam-dalam untuk menemani kopiku. Bagiku kopi dan rokok sudah seperti sepasang sandal, jika tidak ada satu maka yang lainya menjadi tidak berguna.
Banyak orang yang menganggap aktifitas merokok ini sungguh merugikan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Bagi diri rokok bisa merugikan dari segi ekonomi dan kesehatan, dan bagi orang lain asapnya begitu buruk bagi kesehatan bahkan banyak dikutuk oleh orang yang tidak merokok. “kalau ingin mati, jangan ajak-ajak orang lain” begitu kira-kira bunyi kutukan itu.
Aku tidak menampik hal itu, yang aku bisa lakukan untuk menanggapinya hanya diam, karena itu memang benar. Dan jujur di Negara kita yang sudah merdeka ini, aku masih terjajah dan belum bisa merdeka dari asap rokok. Menikmati kopi tanpa menyedot sebatang rokok bagiku, ibarat makan tanpa nasi. Nasi memang sudah bisa menjadi kata pengganti untuk makan bagi orang kita. Kalau makan dengan roti itu bukan makan tapi ngemil.
Membincang soal rokok, kemarin sempat beredar isu bahwa Negara kita akan menetapkan harga rokok di kisaran 50 ribu satu bungkus. Wacana ini membuatku gusar. Jika memang harga sebungkus rokok menyentuh harga tersebut, kenikmatan kopi akan terasa kurang karena rokok semakin susah aku dapatkan.
Selain itu, bagaimana dengan nasib para petani tembakau, khususnya petani tembakau di kawasan Jawa Timur, karena Jawa Timur bisa dikatakan lumbungnya tembakau. Jika harga tembakau naik, maka menurut pikirankuu, daya beli masyarakat akan turun dan jika daya beli rokok turun, permintaan tembakau juga turun.
Aku juga sempat membaca berita di salah satu media online, yang memberitakan penolakan petani tembakau terhadap wacana tersebut. Para petani tembakau merasa khawatir dengan kebijakan itu, karena menurut mereka yang diuntungkan dari kenaikan harga rokok hanya para pemilik perusahaan rokok, sementara para petani tembakau tidak mengalami peningkatan kesejahteraan karena harga tembakau di pasaran stagnan tidak mengalami peningkatan, bahkan akhir-akhir ini harga temabakau cenderung turun.
Belum lagi para buruh di pabrik rokok yang bisa-bisa terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), karena pabrik rokok mulai susah untuk memasarkan produknya. Tapi itu semua kan dugaanku, jadi jangan terlalu dipercaya, toh aku bukan pakar, Aku cuma seorang penikmat kopi dan pelamun amatiran.
Kegiatan kopi selalu menyenangkan bagiku. Berpikir mengenai masa depan dan keadaan sosial-politik selalu menjadi selingan menyenangkan ditengah menikmati rasa asam-pahit dan manisnya secangkir kopi. Berhubung kopiku sudah habis dan rokok yang kuhisap sudah mencapai gudang garam, Aku akhiri ritus ngopi hari ini dengan ucapan syukur kepada Tuhan, karena masih diberikannya kesempatan bagiku untuk menikmati kembali secangkir kopi dan sebatang rokok seperti hari-hari sebelumnya.
Lagi lagi ku termangu. Lamunan ku tertuju pada prinsipku. Yang mencintai satu hati, namun tetap berdiam diri. Ingin sekali ku salah kan waktu, yang menuntunku mengenangmu, meninggalkan jejak, sakit nya hingga bermalam - malam.
kadang kala, dalam sesak hatiku selalu bertanya, masihkah kamu mengingatku ? Atau kamu dalam dekap mesra orang lain. Jika memang begitu, biarkan aku disini mencari arah tujuan hatiku..
Dan saat nya, aku disadarkan waktu, jarak bukanlah belenggu. Jarak adalah cara Tuhan mendewasakan rasa. aku memahami, mengikat tidak melulu harus bergandeng erat. Dan aku melanjutkan perjalanan demi menyelesaikan tanggung jawab..
Andai saja waktu itu ku tau, niatmu hanya ingin singgah, berteduh lalu pergi. Pasti akan ku beri kopi, bukan hati.
Komentar
Posting Komentar