Hidup di Indonesia yang penuh dengan berbagai masalah perampasan hak hidup tentu akan melahirkan buih-buih perlawanan yang terus hidup dibasis rakyat tertindas. Mulai dari zaman kolonialisme dimana hak hidup dirampas bangsa asing melalui monopoli perdagangan, dengan menancapkan kapital dan mengakumulasikannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Lalu sistem yang menindas itu melahirkan perlawanan yang puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan. Indonesiapun memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik. 17 agustus 1945, setelah memilih untuk merdeka dan berdiri diatas kaki sendiri dengan nama “Republik Indonesia” yang mengorbankan jutaan nyawa, darah dan air mata, ternyata masih belum cukup untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Masih ada upaya dari penjajah untuk masuk kembali ke Indonesia dengan agresi militer Belanda 1 dan 2. Namun dengan semangat persatuan nasional dan patriotisme, lagi-lagi perlawanan rakyat terhadap penjajah pecah dan berhasil membuat penjajah mengangkat kaki dari Indonesia. Setelah melewati semua itu, Indonesia memasuki masa keemasan dalam politik. Dari tahun 1950-1959, politik di Indonesia benar-benar demokratis. Sebut saja pemilu 1955 dan sebagainya. Sayangnya masa kepemimpinan Soekarno berakhir dengan di lengserkan oleh Soeharto. Indonesia belum sempat menasionalisasi aset dan menguasai seluruh sumberdaya alam milik bangsa sendiri. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkenal gigih melawan penidasan atau penghisapan dalam upaya menghargai kemanusiaan itu dikhianati. Soeharto berkuasa. Negara-negara imperialis berdiri di belakang dan menjadikan pemerintah Soeharto sebagai boneka. Terbukti selama masa kepemimpinan presidan soeharto atau yang lebih dikenal dengan sebutan orde baru itu telah membuat langkan mundur dalam kehidupan politik Indonesia bila dibandingkan dengan masa 1950-1959. Hak-hak dasar pertisipasi rakyak untuk berpolitik telah dipasung dan dirampas dengan penerapan 5 paket UU politik dan Dwi fungsi ABRI. Kemerdekaan yang pada hakekatnya adalah kemerdekaan adalah kebebasan seakan telah dilupakan. Namun rezim yang otoriter dan militeristik itu bukanlah hal yang absolute. Lagi-lagi perlawanan pecah di seluruh Indonesia. Buruh, tani, mahasiswa dan rakyat miskin bersatu untuk menumbangkan pemerintah yang represif tersebut. Pada akhirnya, 21 mei 1998, perlawanan yang dilakukan oleh rakyat dan mahasiswa berhasil mengakhiri kekuasan otoriter dan militeristik itu lagi-lagi dengan pengorbanan nyawa, darah dan air mata. Waktu berlalu, rezim berganti rezim, kekuasaan berganti kekuasaan, namun kesejahteraan rakyat di Indonesia seakan hanya angan-angan dibenak kaum tertindas. Secara filosofis, hadirnya negara adalah untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya. Namun negara yang hadir sebagai tuan tanah baru dengan semua koorporasinya tidak memahami secara kompleks apa dasar dari hadirnya negara. Pemimpin yang tidak mengetahui antropologi negara, maka akan sesat pula dalam membuat kebijakan yang pastinya tidak mengakomodir kepentingan seluruh rakyat. Kita hidup di rezim oligarki yang hadir dan akan melakukan segala cara untuk selalu mempertahankan kekayaan. Lagi-lagi rakyat dijauhkan dari politik. Dikampus-kampus terjadi depolitisasi dengan menjauhkan mahasiswa dan kaum muda dari politik. Semua itu dibarengi dengan pemerintah yang selalu membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan selalu mengakomodir kepentingan pasar. Kita telah terjebak di sistem yang sangat neoliberal hari ini. Dari rezim ke rezim, konflik yang melibatkan rakyat vs negara makin massif terjadi. Baik yang berskala nasional maupun sektoral. Omnibus law, konflik agraria, konflik buruh dan perusahaan, dan lain-lain. Pengalihan isu ditengah perampasan hak hidup rakyat sudah bukan hal baru lagi. Ditengah isu akan disahkannya perpu cipta kerja yang merupakan kelanjutan dari omnibus law, BEM malah sibuk untuk melakukan temu nasional. Pemerintah sudah membaca kekuatan dari Gerakan mahasiswa sehingga agenda-besar mahasiswa selalu bertepatan dengan isu-isu yang besar yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. pembungkaman dan pengalihan isu tersebut bukan saja diciptakan oleh pemerintah pusat. Ditengah akan disahkannya perpu cipta kerja dan panasnya perampasan tanah yang melibatkan petani vs negara, hal serupa terjadi di NTT [ Malaka, pubabu, flores, sumba, dan lain-lain]. Konflik tambak garam di Malaka yang harus mengorbankan berhektar-hektar pohon ditebang dan menyisakan pengrusakan lingkungan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan investasi belaka. Berpindah ke konflik pubabu yang sudah berlangsung sejak 2008, kita bisa melihat dengan mata kepala bagaimana masyarakat rumahnya digusur tanpa relokasi, penggusuran yang terjadi di Pubabu-Besipae itu bukan sekali, tapi berkali-kali. Lagi-lagi semua ini dilakukan untuk kepentingan investasi dan proyek siluman milik pemerintah provinsi NTT. hal serupa juga terjadi di Flores, Sumba dan masih banyak lagi konflik yang terjadi di NTT. Konflik ini diciptakan oleh negara sebagai cerminan dari tuan tanah baru dan segala koorporasinya. Negara sudah jauh dari arti negara yang sebenarnya yaitu untuk memenuhi kebutuhan warganegaranya. Menghadapi isu yang makin banyak terjadi, pemerintah provinsi NTT membuat pengalihan isu dengan kebijakan konyol, kebijakan yang mempertontonkan kebodohan mereka, dengan membuat kebijakan yang mewajibkan siswa masuk sekolah pukul 05.00 WITA. Kebijakan ini dibuat dengan membandingkan sekolah biasa dan sekolah asrama seperti sekolah katolik [ seminari ] dan pesantren soal kedesiplinan. Pertama, sistem sekolah asrama dan sekolah biasa itu berbeda karena sekolah asrama itu konsepnya “live in”. Kedua, sekolah biasanya punya culture yang berbeda-beda. Selain itu, dalam menentukan keputusan tersebut, pemerintah melakukan perbandingan antara jam masuk sekolah dan jam mama-mama membuka pasar tradisonal dipasar yaitu pukul 03.00 WITA. Jelas kedua hal ini berbeda. Masing-masing punya prioritas yang berbeda. Mama-mama berangkat pukul 03.00 WITA untuk menjual hasil bumi da lain-lain karena ada tuntutan ekonomi yang mengharuskan hal tersebut. Sedangkan pertimbangan untuk siswa masuk pukul 05.00 WITA berbeda tuntutan sehingga kita seolah-olah memperbesar persoalan kecil dan memperkecil persoalan besar. Artinya pemerintah provinsi NTT tidak mengetahui persoalan utama dari Pendidikan di NTT sehingga imbasnya adalah kebijakan yang dilahirkan akan jauh dari persoalan yang seharusnya menjadi prioritas untuk ditangani. Mungkin ini adalah jawaban mengapa kemiskinan, stanting, dan masih banyak masalah di NTT tidak pernah habis karena dipimpin oleh pemimpin yang bodoh. Sebagai permulaan dalam mengeksekusi kebijakan ini, 10 sekolah negeri di kota Kupang menjadi kelinci percobaan. Yakni, SMAN 1 Kupang. SMAN 2 kupang, SMAN 3 Kupang, SMAN 5 Kupang, SMAN 6 Kupang, SMKN 1 Kupang, SMKN 2 Kupang, SMKN 3 Kupang, SMKN 4 Kupang, dan SMKN 5 Kupang. Dalam banyak video yang beredar, pada pukul 05.00 WITA, hanya sedikit siswa yang hadir di sekolah. Protes orang tua tersebar di media sosial. Kebanyakan dari mereka mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka. Lalu melalui media, pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan provinsi NTT tidak bisa mengkritisi kebijakan ini. Dinas pendidikan langsung mengeksekusikan kebijakan setelah keluar dari mulut gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Dinas pendidikan provinsi NTT mungkin diisi oleh orang-orang yang tidak mengetahui masalah utama pendidikan di NTT. Masalah utama pendidikan di NTT adalah adanya kesengajaan antara sekolah di kota dan sekolah di desa, kesejahteraan guru yang tidak diperhatikan, tingginya angka putus sekolah, dan buta huruf masih menjadi momok pendidikan di NTT. Namun isu ini adalah hanya sebatas pengalihan isu bagi Gerakan rakyat khususnya Gerakan mahasiswa. Masalah-masalah sengaja diperbanyak agar Gerakan rakyat dapat dengan mudah ditungangi, terpecah-pecah, dan dijauhkan dari persoalan yang sebenarnya. Terbukti dengan isu ini muncul, perdebatan dikalangan mahasiswa tentang perpu cipta kerja sudah tidak terdengar lagi. Bahkan isu ini mengalahkan isu konflik pubabu yang sudah berlangsung lama. Logikanya isu di lipatgandakan agar mengalihkan perhatian rakyat dan mahasiswa. isu ini sudah menarik perhatian banyak kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Mahasiswa akan dibuat lupa persoalan yang seharusnya dikawal dan menjadi prioritas. Akhirnya, Gerakan perlawanan melemah, dan akan terhenti dengan sendirinya. Ini adalah pembungkaman terstruktur yang jarang disadari. Untuk itu mahasiswa harus mampu memetakan persoalan yang menjadi prioritas perjuanganHidup di Indonesia yang penuh dengan berbagai masalah perampasan hak hidup tentu akan melahirkan buih-buih perlawanan yang terus hidup dibasis rakyat tertindas. Mulai dari zaman kolonialisme dimana hak hidup dirampas bangsa asing melalui monopoli perdagangan, dengan menancapkan kapital dan mengakumulasikannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Lalu sistem yang menindas itu melahirkan perlawanan yang puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan. Indonesiapun memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik. 17 agustus 1945, setelah memilih untuk merdeka dan berdiri diatas kaki sendiri dengan nama “Republik Indonesia” yang mengorbankan jutaan nyawa, darah dan air mata, ternyata masih belum cukup untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Masih ada upaya dari penjajah untuk masuk kembali ke Indonesia dengan agresi militer Belanda 1 dan 2. Namun dengan semangat persatuan nasional dan patriotisme, lagi-lagi perlawanan rakyat terhadap penjajah pecah dan berhasil membuat penjajah mengangkat kaki dari Indonesia. Setelah melewati semua itu, Indonesia memasuki masa keemasan dalam politik. Dari tahun 1950-1959, politik di Indonesia benar-benar demokratis. Sebut saja pemilu 1955 dsb. Sayangnya masa kepemimpinan Soekarno berakhir dengan di lengserkan oleh Soeharto. Indonesia belum sempat menasionalisasi aset dan menguasai seluruh sumberdaya alam milik bangsa sendiri. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkenal gigih melawan penidasan/penghisapan dalam upaya menghargai kemanusiaan itu dikhianati. Soeharto berkuasa. Negara-negara imperialis berdiri di belakang dan menjadikan pemerintah Soeharto sebagai boneka. Terbukti selama masa kepemimpinan presidan soeharto atau yang lebih dikenal dengan sebutan orde baru itu telah membuat langkan mundur dalam kehidupan politik Indonesia bila dibandingkan dengan masa 1950-1959. Hak-hak dasar pertisipasi rakyak untuk berpolitik telah dipasung dan dirampas dengan penerapan 5 paket UU politik dan Dwi fungsi ABRI. Kemerdekaan yang pada hakekatnya adalah kemerdekaan adalah kebebasan seakan telah dilupakan. Namun rezim yang otoriter dan militeristik itu bukanlah hal yang absolute. Lagi-lagi perlawanan pecah di seluruh Indonesia. Buruh, tani, mahasiswa dan rakyat miskin bersatu untuk menumbangkan pemerintah yang represif tersebut. Pada akhirnya, 21 mei 1998, perlawanan yang dilakukan oleh rakyat dan mahasiswa berhasil mengakhiri kekuasan otoriter dan militeristik itu lagi-lagi dengan pengorbanan nyawa, darah dan air mata. Waktu berlalu, rezim berganti rezim, kekuasaan berganti kekuasaan, namun kesejahteraan rakyat di Indonesia seakan hanya angan-angan dibenak kaum tertindas. Secara filosofis, hadirnya negara adalah untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya. Namun negara yang hadir sebagai tuan tanah baru dengan semua koorporasinya tidak memahami secara kompleks apa dasar dari hadirnya negara. Pemimpin yang tidak mengetahui antropologi negara, maka akan sesat pula dalam membuat kebijakan yang pastinya tidak mengakomodir kepentingan seluruh rakyat. Kita hidup di rezim oligarki yang hadir dan akan melakukan segala cara untuk selalu mempertahankan kekayaan. Lagi-lagi rakyat dijauhkan dari politik. Dikampus-kampus terjadi depolitisasi dengan menjauhkan mahasiswa dan kaum muda dari politik. Semua itu dibarengi dengan pemerintah yang selalu membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan selalu mengakomodir kepentingan pasar. Kita telah terjebak di sistem yang sangat neoliberal hari ini. Dari rezim ke rezim, konflik yang melibatkan rakyat vs negara makin massif terjadi. Baik yang berskala nasional maupun sektoral. Omnibus law, konflik agraria, konflik buruh dan perusahaan, dan lain-lain. Pengalihan isu ditengah perampasan hak hidup rakyat sudah bukan hal baru lagi. Ditengah isu akan disahkannya perpu cipta kerja yang merupakan kelanjutan dari omnibus law, BEM malah sibuk untuk melakukan temu nasional. Pemerintah sudah membaca kekuatan dari Gerakan mahasiswa sehingga agenda-besar mahasiswa selalu bertepatan dengan isu-isu yang besar yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. pembungkaman dan pengalihan isu tersebut bukan saja diciptakan oleh pemerintah pusat. Ditengah akan disahkannya perpu cipta kerja dan panasnya perampasan tanah yang melibatkan petani vs negara, hal serupa terjadi di NTT [ Malaka, pubabu, flores, sumba, dan lain-lain]. Konflik tambak garam di Malaka yang harus mengorbankan berhektar-hektar pohon ditebang dan menyisakan pengrusakan lingkungan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan investasi belaka. Berpindah ke konflik pubabu yang sudah berlangsung sejak 2008, kita bisa melihat dengan mata kepala bagaimana masyarakat rumahnya digusur tanpa relokasi, penggusuran yang terjadi di Pubabu-Besipae itu bukan sekali, tapi berkali-kali. Lagi-lagi semua ini dilakukan untuk kepentingan investasi dan proyek siluman milik pemerintah provinsi NTT. hal seruma juga terjadi di Flores, Sumba dan masuk banyak lagi konflik yang terjadi di NTT. Konflik ini diciptakan oleh negara sebagai cerminan dari tuan tanah baru dan segala koorporasinya. Negara sudah jauh dari arti negara yang sebenarnya yaitu untuk memenuhi kebutuhan warganegaranya. Menghadapi isu yang makin banyak terjadi, pemerintah provinsi NTT membuat pengalihan isu dengan kebijakan konyol, kebijakan yang mempertontonkan kepintaran mereka, dengan membuat kebijakan yang mewajibkan siswa masuk sekolah pukul 05.00 WITA. Kebijakan ini dibuat dengan membandingkan sekolah biasa dan sekolah asrama seperti sekolah katolik [ seminari ] dan pesantren soal kedesiplinan. Pertama, sistem sekolah asrama dan sekolah biasa itu berbeda karena sekolah asrama itu konsepnya “live in”. Kedua, sekolah biasanya punya culture yang berbeda-beda. Selain itu, dalam menentukan keputusan tersebut, pemerintah melakukan perbandingan antara jam masuk sekolah dan jam mama-mama membuka pasar tradisonal dipasar yaitu pukul 03.00 WITA. Jelas kedua hal ini berbeda. Masing-masing punya prioritas yang berbeda. Mama-mama berangkat pukul 03.00 WITA untuk menjual hasil bumi da lain-lain karena ada tuntutan ekonomi yang mengharuskan hal tersebut. Sedangkan pertimbangan untuk siswa masuk pukul 05.00 WITA berbeda tuntutan sehingga kita seolah-olah memperbesar persoalan kecil dan memperkecil persoalan besar. Artinya pemerintah provinsi NTT tidak mengetahui persoalan utama dari Pendidikan di NTT sehingga imbasnya adalah kebijakan yang dilahirkan akan jauh dari persoalan yang seharusnya menjadi prioritas untuk ditangani. Mungkin ini adalah jawaban mengapa kemiskinan, stanting, dan masih banyak masalah di NTT tidak pernah habis karena dipimpin oleh pemimpin yang tidak paham dengan sikon. Sebagai permulaan dalam mengeksekusi kebijakan ini, 10 sekolah negeri di kota Kupang menjadi kelinci percobaan. Yakni, SMAN 1 Kupang. SMAN 2 kupang, SMAN 3 Kupang, SMAN 5 Kupang, SMAN 6 Kupang, SMKN 1 Kupang, SMKN 2 Kupang, SMKN 3 Kupang, SMKN 4 Kupang, dan SMKN 5 Kupang. Dalam banyak video yang beredar, pada pukul 05.00 WITA, hanya sedikit siswa yang hadir di sekolah. Protes orang tua tersebar di media sosial. Kebanyakan dari mereka mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka. Lalu melalui media, pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan provinsi NTT tidak bisa mengkritisi kebijakan ini. Dinas pendidikan langsung mengeksekusikan kebijakan setelah keluar dari mulut gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Dinas pendidikan provinsi NTT mungkin diisi oleh orang-orang yang tidak mengetahui masalah utama pendidikan di NTT. Masalah utama pendidikan di NTT adalah adanya kesengajaan antara sekolah di kota dan sekolah di desa, kesejahteraan guru yang tidak diperhatikan, tingginya angka putus sekolah, dan buta huruf masih menjadi momok pendidikan di NTT. Namun isu ini adalah hanya sebatas pengalihan isu bagi Gerakan rakyat khususnya Gerakan mahasiswa. Masalah-masalah sengaja diperbanyak agar Gerakan rakyat dapat dengan mudah ditungangi, terpecah-pecah, dan dijauhkan dari persoalan yang sebenarnya. Terbukti dengan isu ini muncul, perdebatan dikalangan mahasiswa tentang perpu cipta kerja sudah tidak terdengar lagi. Bahkan isu ini mengalahkan isu konflik pubabu yang sudah berlangsung lama. Logikanya isu di lipatgandakan agar mengalihkan perhatian rakyat dan mahasiswa. isu ini sudah menarik perhatian banyak kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Mahasiswa akan dibuat lupa persoalan yang seharusnya dikawal dan menjadi prioritas. Akhirnya, Gerakan perlawanan melemah, dan akan terhenti dengan sendirinya. Ini adalah pembungkaman terstruktur yang jarang disadari. Untuk itu mahasiswa harus mampu memetakan persoalan yang menjadi prioritas perjuangan.
Hidup di Indonesia yang penuh dengan berbagai masalah perampasan hak hidup tentu akan melahirkan buih-buih perlawanan yang terus hidup dibasis rakyat tertindas. Mulai dari zaman kolonialisme dimana hak hidup dirampas bangsa asing melalui monopoli perdagangan, dengan menancapkan kapital dan mengakumulasikannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Lalu sistem yang menindas itu melahirkan perlawanan yang puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan. Indonesiapun memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik. 17 agustus 1945, setelah memilih untuk merdeka dan berdiri diatas kaki sendiri dengan nama “Republik Indonesia” yang mengorbankan jutaan nyawa, darah dan air mata, ternyata masih belum cukup untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Masih ada upaya dari penjajah untuk masuk kembali ke Indonesia dengan agresi militer Belanda 1 dan 2. Namun dengan semangat persatuan nasional dan patriotisme, lagi-lagi perlawanan rakyat terhadap penjajah pecah dan berhasil membuat penjajah mengangkat kaki dari Indonesia. Setelah melewati semua itu, Indonesia memasuki masa keemasan dalam politik. Dari tahun 1950-1959, politik di Indonesia benar-benar demokratis. Sebut saja pemilu 1955 dan sebagainya. Sayangnya masa kepemimpinan Soekarno berakhir dengan di lengserkan oleh Soeharto. Indonesia belum sempat menasionalisasi aset dan menguasai seluruh sumberdaya alam milik bangsa sendiri. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkenal gigih melawan penidasan atau penghisapan dalam upaya menghargai kemanusiaan itu dikhianati. Soeharto berkuasa. Negara-negara imperialis berdiri di belakang dan menjadikan pemerintah Soeharto sebagai boneka. Terbukti selama masa kepemimpinan presidan soeharto atau yang lebih dikenal dengan sebutan orde baru itu telah membuat langkan mundur dalam kehidupan politik Indonesia bila dibandingkan dengan masa 1950-1959. Hak-hak dasar pertisipasi rakyak untuk berpolitik telah dipasung dan dirampas dengan penerapan 5 paket UU politik dan Dwi fungsi ABRI. Kemerdekaan yang pada hakekatnya adalah kemerdekaan adalah kebebasan seakan telah dilupakan. Namun rezim yang otoriter dan militeristik itu bukanlah hal yang absolute. Lagi-lagi perlawanan pecah di seluruh Indonesia. Buruh, tani, mahasiswa dan rakyat miskin bersatu untuk menumbangkan pemerintah yang represif tersebut. Pada akhirnya, 21 mei 1998, perlawanan yang dilakukan oleh rakyat dan mahasiswa berhasil mengakhiri kekuasan otoriter dan militeristik itu lagi-lagi dengan pengorbanan nyawa, darah dan air mata. Waktu berlalu, rezim berganti rezim, kekuasaan berganti kekuasaan, namun kesejahteraan rakyat di Indonesia seakan hanya angan-angan dibenak kaum tertindas. Secara filosofis, hadirnya negara adalah untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya. Namun negara yang hadir sebagai tuan tanah baru dengan semua koorporasinya tidak memahami secara kompleks apa dasar dari hadirnya negara. Pemimpin yang tidak mengetahui antropologi negara, maka akan sesat pula dalam membuat kebijakan yang pastinya tidak mengakomodir kepentingan seluruh rakyat. Kita hidup di rezim oligarki yang hadir dan akan melakukan segala cara untuk selalu mempertahankan kekayaan. Lagi-lagi rakyat dijauhkan dari politik. Dikampus-kampus terjadi depolitisasi dengan menjauhkan mahasiswa dan kaum muda dari politik. Semua itu dibarengi dengan pemerintah yang selalu membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan selalu mengakomodir kepentingan pasar. Kita telah terjebak di sistem yang sangat neoliberal hari ini. Dari rezim ke rezim, konflik yang melibatkan rakyat vs negara makin massif terjadi. Baik yang berskala nasional maupun sektoral. Omnibus law, konflik agraria, konflik buruh dan perusahaan, dan lain-lain. Pengalihan isu ditengah perampasan hak hidup rakyat sudah bukan hal baru lagi. Ditengah isu akan disahkannya perpu cipta kerja yang merupakan kelanjutan dari omnibus law, BEM malah sibuk untuk melakukan temu nasional. Pemerintah sudah membaca kekuatan dari Gerakan mahasiswa sehingga agenda-besar mahasiswa selalu bertepatan dengan isu-isu yang besar yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. pembungkaman dan pengalihan isu tersebut bukan saja diciptakan oleh pemerintah pusat. Ditengah akan disahkannya perpu cipta kerja dan panasnya perampasan tanah yang melibatkan petani vs negara, hal serupa terjadi di NTT [ Malaka, pubabu, flores, sumba, dan lain-lain]. Konflik tambak garam di Malaka yang harus mengorbankan berhektar-hektar pohon ditebang dan menyisakan pengrusakan lingkungan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan investasi belaka. Berpindah ke konflik pubabu yang sudah berlangsung sejak 2008, kita bisa melihat dengan mata kepala bagaimana masyarakat rumahnya digusur tanpa relokasi, penggusuran yang terjadi di Pubabu-Besipae itu bukan sekali, tapi berkali-kali. Lagi-lagi semua ini dilakukan untuk kepentingan investasi dan proyek siluman milik pemerintah provinsi NTT. hal serupa juga terjadi di Flores, Sumba dan masih banyak lagi konflik yang terjadi di NTT. Konflik ini diciptakan oleh negara sebagai cerminan dari tuan tanah baru dan segala koorporasinya. Negara sudah jauh dari arti negara yang sebenarnya yaitu untuk memenuhi kebutuhan warganegaranya. Menghadapi isu yang makin banyak terjadi, pemerintah provinsi NTT membuat pengalihan isu dengan kebijakan konyol, kebijakan yang mempertontonkan kebodohan mereka, dengan membuat kebijakan yang mewajibkan siswa masuk sekolah pukul 05.00 WITA. Kebijakan ini dibuat dengan membandingkan sekolah biasa dan sekolah asrama seperti sekolah katolik [ seminari ] dan pesantren soal kedesiplinan. Pertama, sistem sekolah asrama dan sekolah biasa itu berbeda karena sekolah asrama itu konsepnya “live in”. Kedua, sekolah biasanya punya culture yang berbeda-beda. Selain itu, dalam menentukan keputusan tersebut, pemerintah melakukan perbandingan antara jam masuk sekolah dan jam mama-mama membuka pasar tradisonal dipasar yaitu pukul 03.00 WITA. Jelas kedua hal ini berbeda. Masing-masing punya prioritas yang berbeda. Mama-mama berangkat pukul 03.00 WITA untuk menjual hasil bumi da lain-lain karena ada tuntutan ekonomi yang mengharuskan hal tersebut. Sedangkan pertimbangan untuk siswa masuk pukul 05.00 WITA berbeda tuntutan sehingga kita seolah-olah memperbesar persoalan kecil dan memperkecil persoalan besar. Artinya pemerintah provinsi NTT tidak mengetahui persoalan utama dari Pendidikan di NTT sehingga imbasnya adalah kebijakan yang dilahirkan akan jauh dari persoalan yang seharusnya menjadi prioritas untuk ditangani. Mungkin ini adalah jawaban mengapa kemiskinan, stanting, dan masih banyak masalah di NTT tidak pernah habis karena dipimpin oleh pemimpin yang bodoh. Sebagai permulaan dalam mengeksekusi kebijakan ini, 10 sekolah negeri di kota Kupang menjadi kelinci percobaan. Yakni, SMAN 1 Kupang. SMAN 2 kupang, SMAN 3 Kupang, SMAN 5 Kupang, SMAN 6 Kupang, SMKN 1 Kupang, SMKN 2 Kupang, SMKN 3 Kupang, SMKN 4 Kupang, dan SMKN 5 Kupang. Dalam banyak video yang beredar, pada pukul 05.00 WITA, hanya sedikit siswa yang hadir di sekolah. Protes orang tua tersebar di media sosial. Kebanyakan dari mereka mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka. Lalu melalui media, pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan provinsi NTT tidak bisa mengkritisi kebijakan ini. Dinas pendidikan langsung mengeksekusikan kebijakan setelah keluar dari mulut gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Dinas pendidikan provinsi NTT mungkin diisi oleh orang-orang yang tidak mengetahui masalah utama pendidikan di NTT. Masalah utama pendidikan di NTT adalah adanya kesengajaan antara sekolah di kota dan sekolah di desa, kesejahteraan guru yang tidak diperhatikan, tingginya angka putus sekolah, dan buta huruf masih menjadi momok pendidikan di NTT. Namun isu ini adalah hanya sebatas pengalihan isu bagi Gerakan rakyat khususnya Gerakan mahasiswa. Masalah-masalah sengaja diperbanyak agar Gerakan rakyat dapat dengan mudah ditungangi, terpecah-pecah, dan dijauhkan dari persoalan yang sebenarnya. Terbukti dengan isu ini muncul, perdebatan dikalangan mahasiswa tentang perpu cipta kerja sudah tidak terdengar lagi. Bahkan isu ini mengalahkan isu konflik pubabu yang sudah berlangsung lama. Logikanya isu di lipatgandakan agar mengalihkan perhatian rakyat dan mahasiswa. isu ini sudah menarik perhatian banyak kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Mahasiswa akan dibuat lupa persoalan yang seharusnya dikawal dan menjadi prioritas. Akhirnya, Gerakan perlawanan melemah, dan akan terhenti dengan sendirinya. Ini adalah pembungkaman terstruktur yang jarang disadari. Untuk itu mahasiswa harus mampu memetakan persoalan yang menjadi prioritas perjuanganHidup di Indonesia yang penuh dengan berbagai masalah perampasan hak hidup tentu akan melahirkan buih-buih perlawanan yang terus hidup dibasis rakyat tertindas. Mulai dari zaman kolonialisme dimana hak hidup dirampas bangsa asing melalui monopoli perdagangan, dengan menancapkan kapital dan mengakumulasikannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Lalu sistem yang menindas itu melahirkan perlawanan yang puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan. Indonesiapun memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik. 17 agustus 1945, setelah memilih untuk merdeka dan berdiri diatas kaki sendiri dengan nama “Republik Indonesia” yang mengorbankan jutaan nyawa, darah dan air mata, ternyata masih belum cukup untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Masih ada upaya dari penjajah untuk masuk kembali ke Indonesia dengan agresi militer Belanda 1 dan 2. Namun dengan semangat persatuan nasional dan patriotisme, lagi-lagi perlawanan rakyat terhadap penjajah pecah dan berhasil membuat penjajah mengangkat kaki dari Indonesia. Setelah melewati semua itu, Indonesia memasuki masa keemasan dalam politik. Dari tahun 1950-1959, politik di Indonesia benar-benar demokratis. Sebut saja pemilu 1955 dsb. Sayangnya masa kepemimpinan Soekarno berakhir dengan di lengserkan oleh Soeharto. Indonesia belum sempat menasionalisasi aset dan menguasai seluruh sumberdaya alam milik bangsa sendiri. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkenal gigih melawan penidasan/penghisapan dalam upaya menghargai kemanusiaan itu dikhianati. Soeharto berkuasa. Negara-negara imperialis berdiri di belakang dan menjadikan pemerintah Soeharto sebagai boneka. Terbukti selama masa kepemimpinan presidan soeharto atau yang lebih dikenal dengan sebutan orde baru itu telah membuat langkan mundur dalam kehidupan politik Indonesia bila dibandingkan dengan masa 1950-1959. Hak-hak dasar pertisipasi rakyak untuk berpolitik telah dipasung dan dirampas dengan penerapan 5 paket UU politik dan Dwi fungsi ABRI. Kemerdekaan yang pada hakekatnya adalah kemerdekaan adalah kebebasan seakan telah dilupakan. Namun rezim yang otoriter dan militeristik itu bukanlah hal yang absolute. Lagi-lagi perlawanan pecah di seluruh Indonesia. Buruh, tani, mahasiswa dan rakyat miskin bersatu untuk menumbangkan pemerintah yang represif tersebut. Pada akhirnya, 21 mei 1998, perlawanan yang dilakukan oleh rakyat dan mahasiswa berhasil mengakhiri kekuasan otoriter dan militeristik itu lagi-lagi dengan pengorbanan nyawa, darah dan air mata. Waktu berlalu, rezim berganti rezim, kekuasaan berganti kekuasaan, namun kesejahteraan rakyat di Indonesia seakan hanya angan-angan dibenak kaum tertindas. Secara filosofis, hadirnya negara adalah untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya. Namun negara yang hadir sebagai tuan tanah baru dengan semua koorporasinya tidak memahami secara kompleks apa dasar dari hadirnya negara. Pemimpin yang tidak mengetahui antropologi negara, maka akan sesat pula dalam membuat kebijakan yang pastinya tidak mengakomodir kepentingan seluruh rakyat. Kita hidup di rezim oligarki yang hadir dan akan melakukan segala cara untuk selalu mempertahankan kekayaan. Lagi-lagi rakyat dijauhkan dari politik. Dikampus-kampus terjadi depolitisasi dengan menjauhkan mahasiswa dan kaum muda dari politik. Semua itu dibarengi dengan pemerintah yang selalu membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan selalu mengakomodir kepentingan pasar. Kita telah terjebak di sistem yang sangat neoliberal hari ini. Dari rezim ke rezim, konflik yang melibatkan rakyat vs negara makin massif terjadi. Baik yang berskala nasional maupun sektoral. Omnibus law, konflik agraria, konflik buruh dan perusahaan, dan lain-lain. Pengalihan isu ditengah perampasan hak hidup rakyat sudah bukan hal baru lagi. Ditengah isu akan disahkannya perpu cipta kerja yang merupakan kelanjutan dari omnibus law, BEM malah sibuk untuk melakukan temu nasional. Pemerintah sudah membaca kekuatan dari Gerakan mahasiswa sehingga agenda-besar mahasiswa selalu bertepatan dengan isu-isu yang besar yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. pembungkaman dan pengalihan isu tersebut bukan saja diciptakan oleh pemerintah pusat. Ditengah akan disahkannya perpu cipta kerja dan panasnya perampasan tanah yang melibatkan petani vs negara, hal serupa terjadi di NTT [ Malaka, pubabu, flores, sumba, dan lain-lain]. Konflik tambak garam di Malaka yang harus mengorbankan berhektar-hektar pohon ditebang dan menyisakan pengrusakan lingkungan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan investasi belaka. Berpindah ke konflik pubabu yang sudah berlangsung sejak 2008, kita bisa melihat dengan mata kepala bagaimana masyarakat rumahnya digusur tanpa relokasi, penggusuran yang terjadi di Pubabu-Besipae itu bukan sekali, tapi berkali-kali. Lagi-lagi semua ini dilakukan untuk kepentingan investasi dan proyek siluman milik pemerintah provinsi NTT. hal seruma juga terjadi di Flores, Sumba dan masuk banyak lagi konflik yang terjadi di NTT. Konflik ini diciptakan oleh negara sebagai cerminan dari tuan tanah baru dan segala koorporasinya. Negara sudah jauh dari arti negara yang sebenarnya yaitu untuk memenuhi kebutuhan warganegaranya. Menghadapi isu yang makin banyak terjadi, pemerintah provinsi NTT membuat pengalihan isu dengan kebijakan konyol, kebijakan yang mempertontonkan kepintaran mereka, dengan membuat kebijakan yang mewajibkan siswa masuk sekolah pukul 05.00 WITA. Kebijakan ini dibuat dengan membandingkan sekolah biasa dan sekolah asrama seperti sekolah katolik [ seminari ] dan pesantren soal kedesiplinan. Pertama, sistem sekolah asrama dan sekolah biasa itu berbeda karena sekolah asrama itu konsepnya “live in”. Kedua, sekolah biasanya punya culture yang berbeda-beda. Selain itu, dalam menentukan keputusan tersebut, pemerintah melakukan perbandingan antara jam masuk sekolah dan jam mama-mama membuka pasar tradisonal dipasar yaitu pukul 03.00 WITA. Jelas kedua hal ini berbeda. Masing-masing punya prioritas yang berbeda. Mama-mama berangkat pukul 03.00 WITA untuk menjual hasil bumi da lain-lain karena ada tuntutan ekonomi yang mengharuskan hal tersebut. Sedangkan pertimbangan untuk siswa masuk pukul 05.00 WITA berbeda tuntutan sehingga kita seolah-olah memperbesar persoalan kecil dan memperkecil persoalan besar. Artinya pemerintah provinsi NTT tidak mengetahui persoalan utama dari Pendidikan di NTT sehingga imbasnya adalah kebijakan yang dilahirkan akan jauh dari persoalan yang seharusnya menjadi prioritas untuk ditangani. Mungkin ini adalah jawaban mengapa kemiskinan, stanting, dan masih banyak masalah di NTT tidak pernah habis karena dipimpin oleh pemimpin yang tidak paham dengan sikon. Sebagai permulaan dalam mengeksekusi kebijakan ini, 10 sekolah negeri di kota Kupang menjadi kelinci percobaan. Yakni, SMAN 1 Kupang. SMAN 2 kupang, SMAN 3 Kupang, SMAN 5 Kupang, SMAN 6 Kupang, SMKN 1 Kupang, SMKN 2 Kupang, SMKN 3 Kupang, SMKN 4 Kupang, dan SMKN 5 Kupang. Dalam banyak video yang beredar, pada pukul 05.00 WITA, hanya sedikit siswa yang hadir di sekolah. Protes orang tua tersebar di media sosial. Kebanyakan dari mereka mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka. Lalu melalui media, pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan provinsi NTT tidak bisa mengkritisi kebijakan ini. Dinas pendidikan langsung mengeksekusikan kebijakan setelah keluar dari mulut gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Dinas pendidikan provinsi NTT mungkin diisi oleh orang-orang yang tidak mengetahui masalah utama pendidikan di NTT. Masalah utama pendidikan di NTT adalah adanya kesengajaan antara sekolah di kota dan sekolah di desa, kesejahteraan guru yang tidak diperhatikan, tingginya angka putus sekolah, dan buta huruf masih menjadi momok pendidikan di NTT. Namun isu ini adalah hanya sebatas pengalihan isu bagi Gerakan rakyat khususnya Gerakan mahasiswa. Masalah-masalah sengaja diperbanyak agar Gerakan rakyat dapat dengan mudah ditungangi, terpecah-pecah, dan dijauhkan dari persoalan yang sebenarnya. Terbukti dengan isu ini muncul, perdebatan dikalangan mahasiswa tentang perpu cipta kerja sudah tidak terdengar lagi. Bahkan isu ini mengalahkan isu konflik pubabu yang sudah berlangsung lama. Logikanya isu di lipatgandakan agar mengalihkan perhatian rakyat dan mahasiswa. isu ini sudah menarik perhatian banyak kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Mahasiswa akan dibuat lupa persoalan yang seharusnya dikawal dan menjadi prioritas. Akhirnya, Gerakan perlawanan melemah, dan akan terhenti dengan sendirinya. Ini adalah pembungkaman terstruktur yang jarang disadari. Untuk itu mahasiswa harus mampu memetakan persoalan yang menjadi prioritas perjuangan.
Komentar
Posting Komentar