Pagi masih gelap. pekat. Setetes embun jatuh dari sela-sela atap pondok mengenai pelipisku. Dengan mata yang masih tertutup aku berusaha menyekanya lalu dengan tenaga yang baru aku segera beranjak dari ranjang sederhana yang di buat oleh ayah dan itu menjadi pondok kecil kami untuk berteduh. Sekejap aku kembali memejamkan mata lalu dalam hati aku melantunkan puji syukur kepada sang Ilahi. Karena telah menjaga aku dan ibu. Setelah berdoa, Aku keluar dan meregangkan urat-urat sembari mengulangi gerakan senam dasar yang di ajarkan guru sewaktu SD. Setelah itu aku pun mengganti gerakan dengan Push up di atas batu. Pada gerakan ke lima aku mulai lelah lalu dengan tenaga yang masih tersisa aku bangkit berdiri. Ibu sudah bangun sejam yang lalu. Aku melihat ia sedang berjalan di pinggir kebun mencari kayu kering. Urat di pergelangan tangannya mulai mengencang. Ia berusaha menarik kayu kering dari tumpukan jerami yang sedikit lembab karena di selimuti embun semalam hinggah pagi mendapatinya. Tangan kirinya memegang kayu itu dan melukainya dengan parang. Lalu ia merogokan kayu itu ke dalam tungku dan asap mulai mengepul keluar dari pondok kecil bertanda adanya kehidupan hari itu.
Ibu keluar sejenak dari pondok itu dan menatap ke atas langit yang masih agak remang-remang dan berharap agar mentari cepat merekah. Seekor ayam jantan sudah turun dari tenggernya dan mulai mecari makan. Tutupan periuk menari-nari di atasnya. Semburan air yang memberontak keluar menyebabkan abu dapur beterbangan di sekitar tungku itu. ternyata air sudah mendidih. ibu lalu membuatkan kopi untuk ayah yang baru saja pulang berburu. Biasanya aku menemani ayah berburu. Tetapi hari itu aku yang menggantikan ayah untuk mengiris tuak nya.
Matahari telah bergantung indah di ufuk timur. Burung-burung tampak mulai menyempurnakan kicauannya. Dan asap di tungku itu terus membumbung ke atas langit. Langit di sepuh biru bersih. gumpalan awan tampak putih tanpa mendung. kelam malam telah ditelan sinar matahari yang menyalak angkuh. Sedangkan ayah masih duduk santai menikmati sebatang rokok surya dan sembari meneguk kopi yang sudah mulai habis sambil menatap tetesan tuak dari buah lontar yang aku iris kemarin sore. Ia pun mengambil parangnya dan mulai mengasah parang itu. ayah betul-betul memanfaatkan waktu. Ia tidak mau waktunya terbuang begitu saja tanpa aktivitas yang lebih berguna. Aku menyarankan agar biar aku saja yang mengiris tuak di samping pondok itu. ayah pun mengiyakannya.
Aku menarik nafas setelah kakiku menapaki sekian anak tangga dari batang bambu yang sudah tua dan ayah menatap ku dari bawah sambil mengatakan “hati-hati nak” tangan kananku sudah menggapai satu dahan daun lontar dan kaki kiri ku sudah menancap di sela-sela himpitan dahan lontar dan bambu lalu aku mencari tempat sandaran yang nyaman. Aku mengeluarkan pisau dan melukai buah lontar itu satu per satu. Lalu menadahnya dengan jerigen bekas dan botol aqua. Lalu menurunkan satu jerigen sadapan tuak yang sudah penuh. Ibu jariku penuh dengan luka-luka kecil akibat sayatan pisau yang tajam itu. Namun itu tidak membuatku putus asah dan takut. Semakin tubuh terluka ia semakin kebal dan rasa sakit telah memahamiku tentang kesabaran. Hidup memang begitu. Jika kita mau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan kita harus terluka. Apalagi hanya luka kecil ini, pakai daun-daun rumput pun bisa sembuh. Gumamku dalam hati. Aku pun cepat-cepat turun dan mendapati ibu sedang mencari buah lontar tua yang sudah masak. Kami menyebutnya dengan tahak. Tahak artinya matang atau masak. Akupun segera menyayat buah lontar itu dan mengeluarkan sabutnya yang masih segar lalu menempel pada bibir periuk agar uap penyulingan tidak menyembur keluar dan kualitas arak tetap terjaga
Sedangkan ayah telah selesai mengasah parangnya dan mulai bergulat dengan rumput dan lumpur. Aku menatapnya dari sudut pondok itu dengan perasaan bahagia dan bangga. Ternyata panggilan hidup sebagai seoarang ayah tidaklah mudah. Mereka harus bekerja keras. Melawan hujan dan panas. Semak belukar menjadi musuh buyutan. bukan hanya itu. Menjadi seorang ayah merupakan tanggung jawab besar atas hidup keluarganya. Aku melihat ibu sedang berusaha mengibas api dan asap mulai mengepul. Matanya berkerut-kerut menampung air yang makin lama makin penuh. Dalam benak aku ingin menggambar alien berwajah ibu. Tetapi aku tidak setega itu. Karena hidup memang begitu. kita di lahirkan untuk menderita. Kebahagian tanpa air mata adalah usaha yang tidak nyata. Begitu pula dengan orang-orang kaya. Tinggal duduk di meja main HP, tiba-tiba pelayan datang membawa makanan. Namun itu bukan berarti mereka orang-orang pemalas. tetapi mereka telah bekerja keras hingga akhirnya menjadi sukses berkelas. gumamku dalam hati.
Mataku penuh serius terus menatap mereka layaknya pengamat yang turun lapangan melakukan observasi. Aku tak bisa membayangkan kehidupan tanpa mereka. Pasti hatiku akan terasa remuk redam, menangis berkepanjangan, meraung ke langit dan melolong-lolong seperti orang gila. Aku hanya melihat ayah tunduk lama sekali. hingga mtahari telah bergeser tepat di sudut sembilan puluh derajat. Memang sudah siang saatnya makan siang. Aku hanya membuang-buang waktu dengan berkhayal. “nak panggil ayahmu makan” seru ibu dari balik periuk tana sambil menyaring tuak untuk segera di suling.
Komentar
Posting Komentar