Kenapa sih perempuan harus disuruh memilih? Pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan posisi perempuan seolah tak berdaya. Bukankah perempuan bisa meraih apa yang mereka inginkan? Pada dasarnya, perempuan diberi talenta untuk memposisikan diri dalam multi peran, dimana perempuan bisa menjadi apa yang dia impikan tanpa harus melupakan kodratnya sebagai perempuan. Dalam beberapa budaya di Indonesia yang bersifat patrilinear atau memenag prinsip patriarki pun terkadang cenderung mengedepankan kepentingan laki-laki daripada perempuan. Bahkan, ada keluarga secara sadar tidak sadar terbentuk pola asuh orang tua yang memprioritaskan anak laki-laki dalam menggapai kesuksesan setinggi-tingginya karena dianggap bahwa anak laki-laki itulah yang kelak akan menerima tongkat estafet pengganti ayahnya dalam membawa bendera keluarga. Dalam banyak keluarga, sering muncul anggapan bahwa anak lakilakilah yang kelak akan membawa nama baik keluarga. Dalam beberapa budaya, baik buruknya nama keluarga sering dinilai dari sosok anak laki-laki dalam keluarga tersebut. Dan perlu diakui, pada era maju saat ini, budaya dan anggapan tersebut masih saja berlaku. Lalu, bagaimana dengan si anak perempuan dalam keluarga tersebut jika budaya dan anggapan tersebut masih terus menerus dipertahankan dalam beberapa budaya saat ini? Dari dasar keluarga seperti inilah, terkadang posisi perempuan sering dibuat melemah dan semakin tidak berdaya. Secara umumpun, muncul stigma yang melekat di kalangan masyarakat tentang perempuan yaitu perempuan merupakan kaum lemah yang menjadi sasaran kekerasan, akses yang terbatas, diskriminasi, pendidikan rendah dan lain sebagainya. Perempuan seringkali dianggap sebagai manusia lemah dan hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Muncul tantangan baru lagi bagi perempuan, yakni stigma negatif bagi perempuan yang sukses, apalagi jika dalam keluarga si istri lebih sukses dari suami, atau saudara perempuan lebih sukses dari saudara lak-laki. Terkadang ada muncul anggapan si perempuan terlalu amibisius atau anggapan lainnya yang membuat kesuksesan perempuan seperti sebuah batu sandungan bagi keluarga dan masyarakat karena perempuan dianggap tidak pantas melebihi kesuksesan laki-laki karena dianggap mempermalukan derajat laki-laki tersebut, lalu pada akhirnya membuat banyak perempuan perlahan-lahan mundur karena harus memilih. Tidak pantaskah perempuan dianggap sebagai mitra laki-laki yang tentunya dapat dijadikan sebagai penunjang kesuksesan laki-laki, dan sebaliknya. Laki-laki dan perempuan sudah seharusnya saling mendukung satu sama lain, dan bukan malah mengekang kesempatan untuk maju kedepan atau malah dianggap saingan. Sejak puluhan tahun lalu, seorang perempuan kelahiran Jepara bernama Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat Raden Ayu Kartini telah memperjuangkan kebebasan dan hak daripada perempuan tersebut, termasuk di bidang pendidikan. Perempuan pelopor kebangkitan perempuan pribumi tersebut adalah inspirasi bagi perempuan Indonesia untuk terus berkarya.
Ketika, pada akhirnya seorang perempuan memutuskan sebagai ibu rumah tangga, maka jangan anggap perempuan tersebut lemah. Ada pengabdian didalamnya untuk konsentrasi penuh dalam pelayanan tersebut yang tidak bisa dinilai dengan harta benda apapun. Ada karya besar dalam membentuk generasi hebat selanjutnya dari pengabdian perempuan tersebut. Harus diakui, pada umumnya dalam mengurus dan merancang masa depan anak-anak, di mana wanita justru akan berperan lebih banyak daripada pria. Oleh karena itu. IRT perlu memiliki pendidikan yang layak agar dapat mendedikasikan kehebatan, kecerdasan dan pendidikan yang tinggi untuk membangun keluarga. Dengan pendidikan yang tinggi pendidikan yang tinggi, karena akan bermanfaat bagi kemajuan dirinya, keluarga, dan masyarakat.
Terutama pada masa sekarang ini, bahkan seorang ibu rumah tangga pun dituntut untuk mampu meningkatkan kemampuannya dalam memahami materi pendidikan agar mampu membimbing putra-putrinya ketika belajar di rumah. Apalagi pendidikan itu bersifat dinamis, mau tak mau perempuan pun harus mengikuti perkembangan pendidikan tersebut. Dengan demikian, diharapkan jangan ada lagi anggapan yang muncul di tengah masyarakat bahwa perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi. “Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tingg, toh ke dapur juga.” merupakan sebuah kalimat negatif yang jika dicermati dapat menghancurkan kecerdasan generasi penerus dalam keluarga, lalu pada akhirnya menghancurkan bangsa dan negara. Sedemikian pentingnyalah, pendidikan seorang perempuan perlu diperhatikan. Ketika hal negatif tersebut terjadi, maka penyesalanlah yang akan datang. Penyesalan karena menyia-nyiakan kesempatan. Kartini pernah mengatakan “Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan penyesalan datang karena kamu selangkah lagi untuk menang.”. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan selagi masih mampu. Saat ini lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia bahkan di dunia sudah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk meningkatkan strata pendidikannya. Sebagian besar wanita masih hanya menamatkan SMA saja, atau terkadang sudah cukup puas ketika berhasilkan menamatkan pendidikan S1, hanya sedikit yang menempuh S2 dan juga S3. Tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan yang terakhir ini masih sangat jauh di bawah jumlah pria. Sayangnya baru sedikit perempuan yang melakukannya, dan tidak sedikit juga yang enggan melakukannya. Terkadang keengganan seorang perempuan tersebut yang menjatuhkan perempuan itu sendiri. “Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu, tapi satu-satunya hal yang benarbenar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.”. Demikian R.A Kartini pernah berucap. Perlahan-lahan, perkembangan era saat ini, peran perempuan mulai diperhitungkan dan diberdayaan. Kesadaran mengenai peran perempuan sebagai sumber daya yang potensial mulai berkembang yang diwujudkan dalam pendekatan program perempuan dalam pembangunan, walaupun memang masih membutuhkan usaha ekstra untuk memaksimalkan pemberdayaan perempuan tersebut agar lebih efektif. Peremuan harus hadir dan turut berpartisipasi sebagai subjek atau pelaku pembangunan, bukan hanya sekedar menjadi pengikut atau objek yang hanya bisa menikmati pembangunan saja.
Prijono dan Pranaka menyebutkan bahwa Pemberdayaan perempuan adalah suatu proses kesadaran dan pembentukan kapasitas (capacity building) terhadap partisipasi yang lebih besar, kekuasaan dan pengawasan pembuatan keputusan yang lebih besar dan tindakan transformasi agar menghasilkan persamaan derajat yang lebih besar antara perempuan dan laki-laki. Persamaan derajat ini sesuatu hal yang perlu diakui sebab pada dasarnya laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Tuhan. Dunia harus menyadari dan mengakui bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Untuk inilah perempuan harus membangun eksistensinya dalam pembangunan. Dalam Wikipedia dijelaskan bahwa ketika berbicara tentang pemberdayaan perempuan, berarti menerima dan memungkinkan orang (perempuan) yang berada di luar proses pengambilan keputusan ke dalamnya. Zakiyah, seorang aktivis pemberdayaan perempuan menyebutkan bahwa pemberdayaan perempuan dapat dilakukan dengan strategi sebagai berikut:
1. Membongkar mitos kaum perempuan sebagai pelengkap dalam rumah tangga
2. Memberi beragam ketrampilan bagi kaum perempuan
3. Memberikan kesempatan seluas-luasnya terhadap kaum perempuan untuk bisa mengikuti atau menempuh pendidikan seluas mungkin Pemberdayaan perempuan dapat ditujukan untuk peningkatan partisipasi dan semangat kaum perempuan untuk berusaha memperoleh dan mendapatkan pendidikan dan pengajaran bagi diri mereka. Dengan jumlah perempuan mencapai jenjang pendidikan tinggi, maka diharapkan perempuan mempunyai peluang semakin besar dalam mengembangkan karier sebagaimana halnya laki-laki. Sudah muncul beberapa figur-figur perempuan yang dapat menjadi motivasi kemajuan partisipasi dan eksistensi perempuan dalam berbagai bidang. Sebut saja Megawati Soekarno Putri yang pernah menjabat sebagai presiden ke enam RI sebagai bukti bahwa perempuan pun bisa menjadi pemimpin negara. Lalu, Susi Pudjiastuti, Sri Mulyani Indrawati, Najwa Shihab, Tri Rismaharini, dan beberapa perempuan lainnya yang menjadi tokoh-tokoh perempuan inspiratif dan berprestasi di bidangnya masing-masing, seperti pebisnis, pejabat dan lainnya. Tak heran, tokoh-tokoh perempuan inspiratif tersebut disebut-sebut sebagai Kartini masa kini yang menjadi teladan tentang kecerdasan, profesionalisme hingga kemandirian. UU No. 2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilanpp perempuan minimal 30 dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Lalu, UU No. 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Salah satu yang patut diapresiasi adalah upaya parpol untuk memaksimalkan kuota 30 persen caleg perempuan. Dalam lama dpr.go.id disebutkan bahwa keterwakilan anggota DPR RI perempuan di periode 2019-2024 mencapai sebesar 20, 5 persen. Artinya, jika dijumlahkan anggota parlemen perempuan sekitar 118 anggota dewan dari total 575 anggota terpilih. Dengan jumlah yang cukup besar itu, kekuatan anggota dewan perempuan ini nantinya bisa lebih sensitif terhadap isu-isu perempuan. Dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, salah satunya memberikan kesempatan besar bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu dengan mengharuskan terpenuhinya kuota minimal 30% untuk perempuan. Dan negara harus menjamin tercapainya pemenuhan kuota tersebut sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak hadir sebagai instansi pemerintah dengan beberapa program prioritasnya, yaitu antara lain Peningkatan Pemberdayaan Perempuan dan Peningkatan Peran Ibu dalam Pendidikan Anak. Serta hadir lembaga-lembaga komunitas perempuan lainnya yang turut menyuarakan pemberdayaan perempuan. Sekarang tinggal bagaimana perempuan menyadari pentingnya peran dan partisipasi perempuan sehingga perempuan harus terus meningkatkan kompetensi dan kemampuannya apapun peran yang akan dipilihnya. Perempuan sudah seharusnya diberi kesempatan untuk dapat menentukan pilihan hidupnya, baik dalam mengenyam pendidikan, pilihan berkarir, maupun pilihan pengabdian hidup sebagai ibu rumah tangga. Setiap pilihan tersebut harus dihormati dan dihargai. Masyarakat seharusnya mendukung perempuan dengan pilihan hidupnya tersebut. Setiap perempuan harus berkarya baik sebagai perempuan berkarir, maupun sebagai ibu rumah tangga. Sebagaimana seorang Kartini mengucapkan dua kata sebagai semboyannya "Aku Mau”, maka hal tersebut memotivasi perempuan untuk terus mau maju, mau lebih aktif dalam berkarya. Mari perempuan-perempuan hebat Indonesia, teruslah berkarya demi rasa hormat dan pengakuan terhadap semua wanita!
Komentar
Posting Komentar